Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Belajar Menuliskannya

Entah apakah judulnya. Sebut saja  Belajar Menuliskannya
Tanya kenapa saya nyasar di Fisip. Pendiam. Tidak banyak bergaul dan tidak banyak bicara. Kok kuliah di fakultas yang konon agak ekstrim soal argumentasi.

Jawabannya karena Deki (saudara kembar) di ekonomi, karena dak boleh hukum, dak boleh pertanian, tidak mau jadi guru, dan arsitek harus IPA. IPS tidak punya banyak pilihan. Demi sesaat jadi 3 terbaik kuambil resiko jadi IPS. Lebih total lagi kupilih Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Syukur-syukur bisa jadi ketua BPK seperti yang waktu itu juga alumni ilmu administrasi. minimal camat, "calon mati". Itu sudah pasti terjadi. Tentu saja.

Di kelas dosen pernah berkata "ada dua ciri orang yang bisa disebut pintar dalam ilmu sosial. 1) bisa ngomong, 2) bisa nulis. Soal ngomong jelas saya sering kali terbata-bata. Tidak pandai menyusun kata-katauntu dibicarakan. Terutama karena saya sering tidak terlalu yakin, jadi kalimat itu tidak bisa terucap dengan jelas. Apalagi jika tidak diikuti oleh pemahaman materi yang akan disampaikan. Makin terbata-bata.

Kemudian saya berpikir "bagi orang sosial, nulis itu wajib, percuma punya gagasan kalau tidak ditulis. Pancasila ditulis. UUD ditulis. Undang-undang, serta peraturan-peraturan di bawahnya itu bentuknya tulisan bukan rekaman suara". Jadi mau tidak mau. Suka tidak suka  harus mulai belajar nulis. Harus memberanikan diri mengungkapkan sesuatu lewat bahasa tulisan. 

Nulis adalah awal sebelum berbicara. Apa yang akan disampaikan sebaiknya ditulis terlebih dahulu agar fokus dan tidak banyak melenceng kemana-mana. Naskah pidato penting pun biasanya ditulis terlebih dahulu sebelum dibacakan dimuka umum.

Ingat ada blog nganggur, nah itulah tempat yang tepat untuk buat coret-coretan. Agak pede dikit cari-cari email redaksi koran. Kirim pikiran-pikiran yang kadang diri sendiri sudah nilai itu tidak pantas dipublikasikan. Tapi ya, belum dicoba mana tau. Kirim-kirim saja terserah. Sudah bosan kebanyakan mikir dan tidak ada satupun ditulis apalagi dipublikasikan. Jadi dari situ segalanya jika sanggup ingin ditulis seluruhnya. 

Sadar mulai "gila" nulis. Apa saja ditulis. Hal sepele ditulis dan kirim ke koran. Dan beberapa terbit. Jadi belajar untuk mulai memilah dan memilih mana yang sebaiknya ditulis dan mana yang sebaiknya tidak usah dipikirkan apalagi sampai ditulis. Kadang tergantung seberapa greget atau tertekannya perasaan jika tidak ditulis. Ya, saya kadang terbawa perasaan saat menulis.

Kemudian, saya mulai memikirkan bahwa mungkin akan ada dampak buruk dari tulisan yang dibuat itu. Terutama jika terbit di media massa. Bisa jadi bahaya bagi orang lain. Mungkin mulai dewasa. Tapi maaf kadang akal sehat ini tidak sejalan dengan otak dan jari-jemari yang gatal untuk nulis. 

Gelisah. Resah. Gundah-gulana. Rasanya pikiran-pikiran yang kata orang tidak penting itu hanya akan berakhir sebagai beban dalam pikiran bila tidak disalurkan dalam bentuk tulisan. Dalam tulisan ini sekaligus saya minta maaf kepada redaksi bila terganggu dengan banyaknya spam kirim tulisan tidak berkualitas yang saya kirimkan.

Kadang geli dan gatal jika tidak ikut menuliskan argumentasi yang menurut diri lebih benar. Entah benar. Atau hanya argumen subjektif dari diri pribadi yang tidak suka dengan argumentasi orang lain. Yang jelas sistem demokrasi membolehkan tiap-tiap orang untuk memberikan cara pandangnya masing-masing atas suatu persoalan bersama. Bahkan sudah bablas ke arah tidak jumpa titik temu. Debat hanya sebatas debat tanpa kesimpulan sebagai solusi yang diterima bersama.

Pikiran juga ada batasannya. Tidak salah jika kita punya argumen yang berbeda. Yang salah jika kita memaksa atau demi ego tetap menolak argumen orang lain yang mungkin bisa saja berisi gagasan yang wah, sebut saja mendekati sempurna. Mau tunduk dan berguru pada yang punya gagasan lebih baik adalah puncak dari kerendahan hati dalam belajar.

Menuliskan argumentasi juga ada caranya. Sebagusnya ada data-data yang bisa dikatakan valid  atau bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Jika tidak benar-benar paham maka baiknya jangan sampai sebut merek atau semacamnya. Cukup alirkan tulisan itu sebagai asumsi dan jangan menyebutnya sebagai sebuah kebenaran.

Emosi marah sebisa mungkin harus disingkirkan saat akan membuat sebuah tulisan. Biarkan yang tersisa hanyalah emosi senang, sedih dan perasaan ingin mencoba untuk mengerti apa yang mungkin ada dipikiran orang lain. Orang itu juga punya masalahnya sendiri. Jangan terlalu dalam dengan hanya menyebutkan hal-hal yang menurut kita negatif tentang subjek atau personal seseorang.

Saat menulis kita harus senantiasa berpikir jernih. bagaimana jika kita berada di posisi beliau yang kita maksud dalam tulisan. Ini berlaku terutama dalam tulisan berupa kritik, keluhan atas layanan publik. Mungkin terpaksa. Lupa. Tidak sengaja. Khilaf. Atau coba-coba saja untuk mencari peruntungan. Jangan hanya berspekulasi bahwa dia sengaja. Pikirkan juga kalau kita dalam posisi itu.

Yah, intinya tulisan ini juga sekaligus sebagai pengingat bagi diri saya sendiri untuk belajar membuat tulisan dengan lebih baik. Semoga bermanfaat bagi kamu-kamu terutama generasi muda yang juga tertarik untuk menulis.
Deka Firhansyah, S.I.P.
Deka Firhansyah, S.I.P. Saya saudara kembar dari Deki Firmansyah, S.E. Seorang pelajar yang masih ingin terus belajar. Biasa di panggil Dek, meski saya lebih suka dipanggil DK atau cukup K. Kami Blogger asal Kota Pangkalan Balai, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan kelahiran Selasa, 29 Maret 1994. Senang berbagi informasi sejak kenal internet dan Facebook kemudian mengantarkan saya mengenal blog. Rutin menulis apa saja yang ingin saya tulis termasuk curhat di blog sejak tahun 2016. Selengkapnya kunjungi halaman about.

Posting Komentar untuk "Belajar Menuliskannya"

بِسْÙ…ِ اللَّÙ‡ِ الرَّØ­ْÙ…َÙ†ِ الرَّØ­ِيم
السَّلاَÙ…ُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ ÙˆَرَØ­ْÙ…َØ©ُ اللهِ ÙˆَبَرَÙƒَاتُÙ‡ُ