Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Budaya malu

Deka Firhansyah
Belakangan budaya malu semakin terkikis. Anak-anak muda tidak lagi malu untuk berekspresi. Termasuk saya juga tidak lagi malu. Berekspresi lewat tulisan dan membagikan tulisan saya kepada orang-orang. Sedikit demi sedikit rasa percaya diri tumbuh lewat menulis.

Bisa kita lihat banyak anak-anak muda yang tidak lagi malu mempertontonkan adegan yang tidak seharusnya dipertontonkan. Orang-orang dewasa pun tidak jarang, seolah tidak ingin kalah dengan anak muda, turut serta juga mempertontonkan adegan yang tidak pantas untuk dipertontonkan.

Terkikisnya Budaya malu ternyata juga terjadi dalam kehidupan berpolitik. Tokoh politik dewasa ini tidak lagi malu-malu untuk menyebut dirinya layak untuk menjadi seorang pemimpin. Tidak ada lagi budaya malu dan justru sudah memasuki ranah malu-maluin.

Seolah-olah takut tidak mendapatkan tempat jika harus menunggu ditunjuk. Tokoh politik secara terang-terangan meminta untuk mendapatkan tempat yang diinginkan tidak ada lagi budaya malu, yang ada justru sudah malu-maluin. 

Siapa yang akan menunjuk, jika tidak meminta? Ada benarnya juga. Namun perlukah dengan cara memaksakan kehendak? Dengan memaksa untuk meminta jabatan dan berupaya menghalangi jika tidak diberikan jabatan maka terlihat jelas bahwa si "preman" ini bukanlah orang yang pantas.

Saya sebut preman sebab meminta sesuatu dengan cara memaksa adalah sesuatu yang biasanya dilakukan oleh preman. Bedanya hanya pada tampilan luarnya saja. Namun sikap dan perbuatannya kurang lebih sama.

Jika budaya malu masih ada maka sikap senantiasa dijaga. Hanya fokus untuk berkarya tanpa meminta-minta. Namun zaman sudah berubah. Untuk menjadi tenar tidak cukup hanya dengan bermodalkan karya. Miskin prestasi tidak menghalanginya untuk menjadi juara.

Tumbuhnya rasa saling tidak percaya atas kemampuan orang lain membuat budaya malu menjadi terkikis. Merasa jika orang lain pasti tidak akan bisa. Merasa jika hanya dirinyalah yang pantas. Terlalu percaya diri dan akhirnya timbul sifat tidak tahu malu.

Terkikisnya budaya malu sebenarnya juga memiliki dampak positif. Berani berkarya adalah contoh positif dari terkikisnya budaya malu. Percuma punya Karya jika malu untuk menampilkannya. Tidak akan ada yang tahu. Maka untuk itu rasa malu harus dikurangi.

Saya juga pemalu. Butuh waktu lama bagi saya untuk berani mengirimkan tulisan-tulisan ke media massa. Malu sebab saya merasa tulisan saya masih jelek. Sampai sekarang pun saya tidak berani bilang bahwa tulisan saya bagus.

Saya hanya bisa berusaha untuk menulis dengan sebaik-baiknya dan selanjutnya biarlah pembaca yang akan memberikan penilaiannya.

Bertahun-tahun sejak sekolah saya telah menulis dan barulah tahun 2017 saya berani mengirimkan hasil tulisan saya ke media massa Koran Tribun Sumsel. 

Harus saya sebutkan bahwa Tribun Sumsel sangat berjasa atas naiknya rasa percaya diri saya untuk terus menulis. Tribun Sumsel adalah media massa pertama yang berani saya kirimi tulisan. Dan beruntung tulisan pertama yang saya kirimkan tersebut langsung bisa diterbitkan.

Demikianlah dampak positif terkikisnya budaya malu. Dapat membuat seseorang menjadi berani berkarya. Berani mengambil peluang untuk mendapatkan uang. Dan lain sebagainya.
Deka Firhansyah, S.I.P.
Deka Firhansyah, S.I.P. Saya saudara kembar dari Deki Firmansyah, S.E. Seorang pelajar yang masih ingin terus belajar. Biasa di panggil Dek, meski saya lebih suka dipanggil DK atau cukup K. Kami Blogger asal Kota Pangkalan Balai, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan kelahiran Selasa, 29 Maret 1994. Senang berbagi informasi sejak kenal internet dan Facebook kemudian mengantarkan saya mengenal blog. Rutin menulis apa saja yang ingin saya tulis termasuk curhat di blog sejak tahun 2016. Selengkapnya kunjungi halaman about.

Posting Komentar untuk "Budaya malu"

بِسْÙ…ِ اللَّÙ‡ِ الرَّØ­ْÙ…َÙ†ِ الرَّØ­ِيم
السَّلاَÙ…ُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ ÙˆَرَØ­ْÙ…َØ©ُ اللهِ ÙˆَبَرَÙƒَاتُÙ‡ُ