Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Budaya Pesta dan Wisuda

Sebuah tulisan yang tidak sesuai target, telat momen, dan belum bisa dikatakan selesai. Jadi, dinikmati saja ya hehehe

Budaya Pesta dan Wisuda
Oleh:
 Deka Firhansyah
*Seorang blogger biasa di www.dekafirhansyah94.blohspot.com, www.StoryAboutGadget.com dan www.JelajahSumatera.net 
Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP UNSRI

Beberapa waktu yang lalu saya membaca artikel yang sangat menarik dari salah satu media massa online terbesar di Indonesia, judulnya "Benarkah Wisuda TK Bentuk 'Eksploitasi' dan Penurunan Makna 'Wisuda'?" Tapi, disini saya tidak akan membahas masalah eksploitasi anak seperti konotasi yang dicantumkan dalam artikel tersebut. Disini saya hanya akan fokus pada budaya "pesta" yang mendompleng kata "wisuda".

Dalam kolom komentar artikel tersebut ada yang komentar begini "coba tanya pada orangtua yang kemampuan ekonominya minimalis, apa memang harus begitu ? jangan sampai terutang-utang hanya untuk mengikuti gaya hidup orang berlebihan".
Ada juga yang komentar begini "hanya orang yg tidak berpendidikan yang mempermasalahkan hal ini".

Mari simak pendapat saya:
Di satu sisi memang penting untuk mengabadikan momen bahagia. Penting juga untuk mengadakan acara khusus untuk dijadikan kenangan indah dimasa depan. Terutama penting bagi orang tuanya, jika berada apa salahnya.

Saya sendiri termasuk orang yang tidak setuju dengan budaya "pesta". Nilai sakralnya bisa jadi berkurang jika dilakukan terus-menerus. Kaum berada juga jangan sampai mengedepankan egoisme semata, kecuali sanggup menjadi donatur untuk semuanya. Tidak semua orang sama dengan kita.
Menurut saya pendapat orang pertama diatas yakni "coba tanya pada orangtua yang kemampuan ekonominya minimalis, apa memang harus begitu ? jangan sampai terutang-utang hanya untuk mengikuti gaya hidup orang berlebihan".

Menurut saya pendapat orang tersebut adalah waras dan logis serta mungkin ikut merasakan dan peduli pada sesama. Padahal bisa jadi beliau berasal dari kalangan mampu, bisa jadi beliau tergolong pelit.

Bisa berkomentar pada sebuah situs media online terbesar di Indonesia adalah bukti bahwa orang itu kemungkinan tidak berasal dari golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Kemudian jelas juga bahwa orang itu bukan berasal dari kaum yang tidak berpendidikan.

Ya, meski umumnya orang seperti itu bisa dicap "Nyinyir" termasuk saya. Selalu ada keluarga dengan budget terbatas yang ingin berinvestasi penuh pada pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka. "Pesta" tentu menjadi beban yang kalau boleh memilih seharusnya tidak wajib bagi mereka. Jadi, mereka yang berlebih seharusnya bisa sedikit rela menurunkan standardnya yang tinggi itu.

Kemudian untuk pendapat orang kedua, "hanya orang yg tidak berpendidikan yang mempermasalahkan hal ini". Apakah ini sudah berarti diskriminasi? Apa harus berpendidikan terlebih dahulu sehingga boleh menyekolahkan anak-anaknya? Secara tidak langsung orang itu menghina pendapat orang pertama. Tepatnya melakukan penghinaan terhadap orang yang pertama, dengan menyebut bahwa orang yang pertama adalah orang yang tidak berpendidikan.

Bukankah konstitusi negara kita mengakui kebebasan berpendapat. Jadi, yang masalah justru jika tidak ada yang kontra dan menahan hatinya yang terluka,  merasa terpaksa harus mengikuti mayoritas orang tua yang ingin diadakannya acara. Dengan kata lain yang miskin harus mengalah demi memuaskan hasrat mereka yang kaya.

Budaya Pesta
Tahun berganti, sekolah-sekolah yang disana terdapat wali-wali murid berUang makin kreatif dalam membuat konsep acara perpisahan meriah, mewah namun dengan biaya yang “sederhana”. Kalau sederhana ya cukup berbaris dilapangan seperti saat upacara, kan itu cara paling sederhana.

Belakangan standar sederhana pun semakin meninggi. Harus sewa setelan jas serta make-up ala-ala artis ternama jika perlu. Lalu bagaimana dengan yang tidak mampu? Harus ikut menyesuaikan cari pinjaman setelan jas ke tetangga. Yang miskin harus menyesuaikan, sementara yang kaya menjadi standar yang harus diikuti. Diskriminasi bukan?

Semakin mewah sampai-sampai hanya teringat pestanya saja. Diisi acara hiburan yang kalau perlu artis ternama. Demikianlah nafsu dan egoisme mereka yang mampu. menambah beban pengeluaran yang tidak wajib bagi mereka yang terbilang cukupan. Sesungguhnya tidak perlu dilaksanakan namun harus ikut dilaksanakan demi nama gengsi.

Malu. Mereka yang cenderung cukupan lebih mengedepankan rasa malu jika tidak menuruti. Dengan demikian bertambahlah pengeluaran yang jika tidak dilaksanakan pun tidak apa-apa. Namun, tentu mustahil untuk tidak ikut. Karena malu.

Deka Firhansyah, S.I.P.
Deka Firhansyah, S.I.P. Saya saudara kembar dari Deki Firmansyah, S.E. Seorang pelajar yang masih ingin terus belajar. Biasa di panggil Dek, meski saya lebih suka dipanggil DK atau cukup K. Kami Blogger asal Kota Pangkalan Balai, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan kelahiran Selasa, 29 Maret 1994. Senang berbagi informasi sejak kenal internet dan Facebook kemudian mengantarkan saya mengenal blog. Rutin menulis apa saja yang ingin saya tulis termasuk curhat di blog sejak tahun 2016. Selengkapnya kunjungi halaman about.

Posting Komentar untuk "Budaya Pesta dan Wisuda"

بِسْÙ…ِ اللَّÙ‡ِ الرَّØ­ْÙ…َÙ†ِ الرَّØ­ِيم
السَّلاَÙ…ُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ ÙˆَرَØ­ْÙ…َØ©ُ اللهِ ÙˆَبَرَÙƒَاتُÙ‡ُ