Bedah Kepenulisan | Beginilah, kita hidup di negara dimana sensasi lebih berharga ketimbang ILMU
"Beginilah, kita hidup di negara dimana sensasi lebih berharga ketimbang ILMU. Yang Tolol bisa jadi icon yang cerdas bisa jadi dikurung. Mungkinkah ini akan menjadi topik bahasan baru untuk tulisan saya yang akan terbit selanjutnya? Entahlah, satu paragraf ini tidak cukup menjelaskannya. Jadi, jangan ditunggu 😄."
Satu lagi, ini adalah sebuah ide tulisan yang mungkin tidak akan pernah berhasil saya selesaikan. Tidak semua ide yang saya dapatkan bisa menjadi sebuah karya tulis yang layak.
Sebuah karya tulis pendek artikel seperti esai setidaknya minimal terdiri atas 400 kata. Tulisan yang layak untuk diterbitkan di media massa koran Tribun Sumsel setidaknya 700-800 kata. Jadi jelas 1paragraf dari saya di atas hanyalah berupa paragrafasumsi yang tidak memiliki paragraf-paragraf pendukung.
![]() |
Sumber: Facebook.com/DekaFirhansyah |
Sebuah ide yang terpikirkan begitu saja saat akan membuat status Facebook 8 Juni 2018. Sekitar pukul 10:53 di hari yang sama saya menandai kalimat tersebut ke dalam daftar catatan saya.
Bukan sekali dua kali ide itu muncul dan hilang secara tiba-tiba dan tidak bisa saya selesaikan. Sudah sering sekali. Kadang hanya mampu menuliskan satu kalimat. Kadang juga agak beruntung bisa dapat satu paragraf seperti tulisan tersebut diatas.
Saya masih butuh banyak belajar dalam mengembangkan ide penulisan. Butuh lebih banyak belajar caranya menggabadikan momen-momen berharga menjadi sebuah atau beberapa tulisan yang enak dibaca dan dinikmati sebagai sebuah karya seni.
Mohon maaf jika tulisan ini tidak sesuai ekspektasi para pembaca.
Mari sama-sama kita belajar 😊.
Posting Komentar untuk "Bedah Kepenulisan | Beginilah, kita hidup di negara dimana sensasi lebih berharga ketimbang ILMU"
Terima kasih sudah membaca tulisan saya, silakan berkomentar ya 😊