Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Belajar Hidup Tanpa Ayah

Jum'at, 11 Agustus 2017 ayah kami berangkat mudik ke kampung halamannya. Sebuah Desa yang terbilang jauh dari pusat kota. Desa Kasai begitulah namanya. Berada di kecamatan Sungai Rotan yang apabila di lihat di peta hanya ada Desa Sungai Rotannya saja.

Ayah kami mudik untuk menjenguk Bak (ayahnya/ yai/ kakek kami) nya yang sedang sakit. Begitulah hingga beberapa hari ayah meninggalkan rumah.

Sebelum ayah pergi saya pikir semua akan berjalan seperti biasanya saja. Kami anak-anaknya memang beberapa sudah berusia dewasa. Saya dan saudara kembar saya Deki sudah berusia 23 tahun. Adik saya yang cewek juga sudah berusia 19 tahun. Dua adik lainya, si kakak sudah kelas 5 SD. Sementara adiknya si bungsu baru kelas 2 SD.

Sebelum berangkat, hari jum'at subuh ayah masih sempat mengantarkan barang dagangannya ke pasar. Tapi beliau tidak bisa jualan karena mendapat kabar yai (kakek dalam bahasa dusun kami) kami sakit. Hari ini tiba. Ayah memutuskan untuk mudik hari itu juga.

Hingga hari Sabtu, 12 Agustus 2017 ayah belum pulang ke rumah juga. Biasanya hari itu ayah belanja barang-barang dagangan baru untuk berjualan ke lapangan jauh yang pernah saya tulis disini ==>> Catatan Perjalanan Berdagang: Selalu ada lubang, dan juga disini==>>Catatan Perjalanan Berdagang: Nikmat Benar Puasa-puasa Jualan di Kalangan jauh, serta yang ini juga ada ==>> Catatan Perjalanan Berdagang: Jelang Lebaran. Biasanya ayah sendiri yang berbelanja barang-barang dagangan yang akan di bawa ke pasar atau kalangan tersebut. Dan hari itu saya yang sedang dalam keadaan ada beban dipikiran terpaksa menjalankan tugas itu dikarenakan saudara kembar saya Deki tidak mau. Terserah apa yang akan terjadi, pikir saya. Semoga saya selamat sampai tujuan.

Saya pikir hari itu ayah akan pulang, ternyata tidak. Hingga saya pulang dari berbelanja barang-barang dagangan sekitar pukul 6 sore karena hujan, ternyata ayah belum juga pulang. Awalnya Saya pikir ini adalah kesempatan Belajar Hidup Tanpa Ayah. Esoknya hari Minggu, dan itu artinya biasanya saya ikut ayah jualan ke pasar atau kalangan jauh tersebut. Bisa tidak yah, saya sendirian. Ternyata emak yang jualan. Jadi saya ikut emak jualan dan bukannya saya jualan sendirian.

Seharian di pasar ayah menelpon beberapa kali. Mulai dari pagi, kemudian siang ayah juga menelpon. Menanyakan kondisi di pasar. Mulai ada rasa tak enak saat itu. Membayangkan jika ayah sudah benar-benar tiada, maka kami benar-benar harus berjuang sendiri. Meski situasi sekarang ini kami bisa dibilang sudah berjuang sendiri tapi tetap saja rasanya berbeda saat ada ayah dirumah. Ada rasa tidak sanggup untuk kehilangan sosok ayah.

Mungkin inilah alasan kuat mengapa ayah kami memutuskan untuk segera mudik. Dalam beberapa hari ini rasanya saya sudah mulai berubah. Apa yang ayah rasakan mungkin sama seperti yang saya rasakan saat ayah tidak ada di rumah beberapa hari ini. Takut kehilangan ayah.

Rupanya hari itu ayah belum juga pulang. Hingga hari ini (senin, 14 Agustus 2017) ayah belum juga pulang. Saya bangun pagi mengantarkan barang-barang dagangan ke pasar, yang juga biasanya ayah yang melakukannya. Begitulah beberapa hari ini saya belajar hidup tanpa ayah. Saya merasa beruntung masih punya orang tua lengkap. Baru beberapa hari saja sudah begini rasanya, apalagi bila selamanya. Saya beruntung.

Segini dulu yang saya rasakan jika tidak ada lagi ayah. Punya tambahan silakan tambahkan di kolom komentar ya...

Posting Komentar untuk "Belajar Hidup Tanpa Ayah"

بِسْÙ…ِ اللَّÙ‡ِ الرَّØ­ْÙ…َÙ†ِ الرَّØ­ِيم
السَّلاَÙ…ُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ ÙˆَرَØ­ْÙ…َØ©ُ اللهِ ÙˆَبَرَÙƒَاتُÙ‡ُ